IN EXCHANGE FOR EXPOSURE, SALAHKAH ITU?
- adhimurtic
- Aug 26, 2019
- 8 min read
Updated: Aug 27, 2019

Beberapa bulan silam, ramai di jagad per-twitter-an tentang Awkarin yang mencari EO untuk meng-handle acara retreat talent management miliknya. Tak lama kemudian, Awkarin kembali menjadi bulan-bulanan netizen karena chat antara anggota team-nya dan pemilik bar Hatchi dengan akun @_geraldgerald_ tersebar luas di media sosial. @_geraldgerald_ mengunggah sebuah instastory yang intinya, keberatan dengan penawaran dari team Awkarin dan diselingi candaan yang bersifat sarkas. Yang membuat kedua berita itu viral, mereka menawarkan hal yang sama. Yaitu in exchange for exposure, apa itu?
Exposure, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia perarti paparan. Socialmediaexaminer.com menyebutkan bahwa ada 5 tingkatan untuk mengukur keefektifan penggunaan media sosial. Pertama, exposure atau berapa orang yang terpapar atau bisa Anda ‘jangkau’ melalui media sosial. Kedua, influence atau berapa orang yang bisa Anda ‘pengaruhi’ melalui media sosial. Ketiga, engangement atau berapa orang yang ‘berinteraksi’ karena media sosial Anda. Keempat, action atau berapa orang yang melakukan ‘tindakan’ karena media sosial Anda. Kelima, sales atau berapa orang yang akhirnya ‘membeli’ produk karena media sosial Anda.
Masih mengutip dari socialmediaexaminer.com, exposure bisa terlihat dari jumlah visits, views, followers, fans, subscribers, atau penyebutan brand. Influence, melihatnya memang agak sulit karena bersifat sangat subjektif dan berkaitan dengan tingkatan lainnya. Apabila postingan di media sosial bisa membuat kita berargumen dalam hati saja, itu sudah bisa digolongkan kalau kita telah ter-influence atau terpengaruh. Engagement, lebih mudah terlihat dari jumlah clicks, retweet, shares, replies, DMs, wall posts, atau comments. Action, meliputi tindakan apa saja yang kita lakukan setelah terpengaruh seperti men-download konten, menghadiri webinar, mengisi formulir, atau mengirimkan proposal. Lebih spesifik lagi, yaitu sales seperti terciptanya penjualan secara online, telepon, atau personal. Dari penjelasan ini kita mengetahui kalau exposure yang ditawarkan Awkarin bersama dengan team-nya ini masih berada di urutan pertama, yaitu ‘jangkauan’. Meskipun realisasinya mungkin juga bisa menyentuh tingkatan-tingkatan berikutnya.
Awkarin membutuhkan jasa EO dan tempat untuk acaranya miliknya, kemudian menawarkan exposure sebagai gantinya. Apa yang dilakukan Awkarin ini sebetulnya adalah sistem barter, yang sudah diterapkan oleh para leluhur kita berabad-abad lamanya sebelum mata uang ditemukan. Malahan, sistem ini juga masih bisa kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari sampai sekarang. Apakah itu salah? Saya perlu mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari semua itu. Selama kerjasama barter ini bisa saling menguntungkan kedua belah pihak, kenapa tidak?
Saya jadi teringat dengan apa yang pernah saya alami sendiri ketika masih bekerja menjadi public relation di sebuah perusahaan radio jaringan. Salah satu radio tempat saya bekerja me-rebranding total konsepnya. Mulai dari logo radio, program radio, musik yang diputar, sampai ke target audiens yang diharapkan. Kami membutuhkan tempat untuk mengadakan ‘launching’ guna mengenalkan konsep baru yang dimiliki oleh radio. Selanjutnya kami mulai bergerilya menawarkan acara ini ke beberapa hotel dan cafe, sampai akhirnya ada satu hotel yang mau bekerjasama dengan kami. Selain tempat, kami juga mendapatkan free meals kurang lebih 100 pax untuk para tamu undangan yang rata-rata berasal dari media dan komunitas.
Kami beruntung tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk tempat dan makanan, karena semuanya sudah disediakan oleh pihak hotel. Lalu sebagai gantinya, pihak hotel ini mendapatkan apa? Mengapa mereka mau menerima tawaran kerjasama dari kami? Sebagai kompensasinya, kami memberikan kesempatan bagi hotel untuk beriklan di radio melalui adlibs, talkshow, dan media sosial kami. Pertanyaannya, apakah nilai promosi yang kami berikan ini sepadan dengan apa yang pihak hotel ini keluarkan?
Kalau dihitung-hitung, total biaya beriklan di radio sendiri sudah hampir mencapai 30 juta rupiah. Sedangkan harga sewa tempat dan makanan dari hotel kalau dijumlahkan juga memiliki nilai yang kurang lebih sama. Apalagi sebelumnya pihak hotel memang sudah lama ingin beriklan di radio kami, tapi belum menemukan angka yang cocok. Kesempatan untuk beriklan tanpa harus membayar dengan uang, melainkan bisa dengan produk yang dimiliki inilah yang dikejar oleh pihak hotel. Mereka senang, kami pun senang. Jadi tidak ada yang dirugikan, bukan?
Contoh yang saya lakukan ini sebenarnya adalah gambaran dari apa yang sedang dikerjakan oleh team Awkarin. Kalau Awkarin menawarkan exposure dari jutaan followers yang dimilikinya, radio pun sama menawarkan exposure dari para pendengar setianya. Netizen mungkin sudah terlalu jengah dengan berita tentang banyaknya influencer yang meminta ‘gratisan’ di luar sana, dengan exposure sebagai alasannya. Atau mulai mempertanyakan tentang keefektifan exposure yang seringkali diagung-agungkan oleh para influencer ini terhadap produk mereka. Sehingga ketika berita ini mencuat ke permukaan, Awkarin menjadi sasaran empuk untuk menerima hujatan dari para netizen.
Saya bisa memahami kegelisahan dari para netizen yang menghujat Awkarin. Saya masih aktif bekerja di bidang Event Organizer, jadi rasanya sedih kalau membayangkan kerja keras kita selama berhari-hari bahkan sampai lupa makan dan tidur untuk menyiapkan sebuah event harus dibayar dengan exposure. Saya juga pernah membantu usaha keluarga di bidang makanan-minuman, yang modalnya terus berkejaran dengan hasil yang didapatkan. Rasanya sulit untuk menerima kalau modal dan usaha kita harus dibayar dengan exposure. Tapi sekali lagi, itulah bisnis. Exposure memang tidak bisa membayar listrik, bahan makanan, atau gaji karyawan. Tapi biaya yang kita keluarkan untuk beriklan memasarkan produk kita, mungkin sepadan dengan nilai exposure yang ditawarkan oleh pihak kedua.
Apa yang ditawarkan Awkarin dan team-nya ini sama sekali tidak salah, tapi mungkin cara menawarkannya yang tidak tepat. Atau mungkin, cara mereka bekerja setelahnya yang menjadi masalah. Saya setuju dengan pendapat @amrazing yang membagikan cuitannya di instatory instagram pribadinya. @amrazing mengatakan bahwa permintaan kolaborasi kerjasama ini tidak jauh berbeda dengan melamar pekerjaan. Tidak bisa seenaknya. Tidak bisa hanya sekedar menawarkan ‘in exchange for exposure’ tanpa prakata atau keterangan apa-apa. Ibaratnya, Anda hanya mengirimkan email berisi CV tanpa perkenalan dan surat lamaran, lalu berharap di-interview dan diterima kerja.
Saya mengakui bahwa apa yang diperbuat @_geraldgerald_ memposting isi percakapannya dengan team Awkarin memang tidak etis. Tidak sepantasnya kita membagikan apa yang seharusnya hanya menjadi konsumsi pihak-pihak yang berkepentingan, menjadi konsumsi publik di media sosial. Tetapi di sisi lain, dengan adanya kasus ini kita jadi bisa belajar banyak hal. Sekarang, mari kita bedah satu per satu isi chat yang dikirimkan oleh team Awkarin kepada @_geraldgerald_ dari gambar di bawah ini.

Dari percakapan di atas, kita bisa menilai kalau team Awkarin dan @_geraldgerald_ sudah saling mengenal dan pernah bekerjasama sebelumnya. Tapi kita coba telaah kembali kalimat setelahnya, team Awkarin bertanya, “Kira-kira jumat minggu depan mereka bisa gak promo lagi di Hatchi?”. Menurut saya, ini adalah pemilihan kalimat yang buruk. Meskipun team Awkarin sudah berusaha merendah dengan emoticon senyum dan mengatupkan kedua tangan, tetap saja. Dengan langsung bertanya bisa atau tidak, seolah-olah mereka sudah menentukan di awal dengan seenaknya. Padahal pemilik bar belum tahu apa-apa tentang penawaran yang diberikan sehingga wajar jika ia merasa ‘sedikit’ tersinggung.
Team Awkarin juga tidak menjelaskan keuntungan apa saja yang akan didapatkan, sampai @_geraldgerald_ bertanya, “In return saya dapat apa?”. Yang dijawab dengan, “Semua talent yang hadir pada hari itu (termasuk Awkarin jika hadir) akan promosikan Hatchi di instastory mereka Pak.” Oke. Lagi-lagi, ini pemilihan kalimat yang kurang baik yang dipakai oleh team Awkarin. Semua talent yang hadir ini siapa? Seberapa terkenalnya mereka? Memangnya follower mereka berapa? Sebentar, itu follower semuanya ‘real’ atau jangan-jangan ada yang beli? Terus apa gunanya instastory? Bukannya kalau sudah lewat sehari juga sudah hilang ditelan bumi? Kalau saya jadi pemilik bar Hatchi, pasti pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan terlintas di benak saya. Apalagi, nama Awkarin sebagai selebgram yang kita tahu paling diutamakan untuk ‘dijual’ saja belum juga tentu hadir di acara ini. Jadi buat apa saya susah-susah menerima tawaran yang kelihatannya sangat tidak menjanjikan ini?
Benar saja, tawaran dari team Awkarin ini langsung dibalas dengan komentar yang kurang mengenakkan dan emoticon tertawa dari @_geraldgerald_. Ditambah dengan pertanyaan, “Kira-kira exposure-nya kalo dirupiahin value-nya berapa, ya?”. Sesungguhnya, ini adalah pertanyaan yang amat wajar dari pemilik bar yang diajak kerjasama. Saya menyayangkan kenapa team Awkarin di awal tidak menyebutkan jumlah follower yang ditawarkan berapa, engagement dengan follower bagaimana, harga atau rate card para selebgram ini berapa. Yang mana apabila semuanya terangkum dalam surat penawaran formal yang jelas, akan terlihat jumlah total nominal value-nya yang diterima ada berapa.
Untuk mengetahui cara kerja exposure dan value ini saya akan mencoba menjelaskannya secara sederhana. Anggap saja pemilik bar Hatchi selama ini mempromosikan tempatnya melalui pamflet yang disebarkan di jalanan. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mencetak 500 pamflet adalah 500 ribu rupiah, yang tentunya hanya akan diterima oleh 500 orang saja sesuai dengan jumlah pamflet yang dicetak. Sedangkan untuk mempromosikan bar melalui instastory selebgram biayanya hanya 1 juta rupiah, tapi dalam sekali klik bisa langsung tersebar ke 1 juta followernya. Bayangkan, 500 orang dibandingkan dengan 1 juta orang, dengan selisih harga hanya 500 ribu rupiah saja. Perbandingan yang amat sangat jauh, bukan? Belum lagi resiko pamflet akan rusak, terinjak, atau dibuang ke tempat sampah. Kalau saya jadi pemilik bar, penawaran ini akan terasa lebih menggiurkan bagi saya.
Seharusnya, akan lebih baik jika team Awkarin menawarkan kerjasama ini melalui prosedur yang formal dan tertulis dengan jelas. Perkenalkan Anda ini siapa, maksud Anda menghubungi pihak kedua ini apa, jelaskan acara Anda ini seperti apa, lalu keuntungan yang akan diterima oleh pihak kedua ini apa saja. Koordinasi lewat whatsapp atau telepon sebetulnya sah-sah saja, terlebih apabila Anda sudah kenal atau merasa akrab dengan pihak kedua. Namun tetap saja, kalau sudah menyangkut masalah ‘uang’, akan lebih baik apabila ada catatan tertulis yang bisa menjadi pedoman bagi kedua belah pihak.
Catatan tertulis ini maksudnya apa? Ya bisa berupa surat perkenalan, proposal acara, sampai ke surat penawaran yang berisi poin-poin yang ditawarkan, beserta nilai value yang diterima oleh pihak kedua ini apa saja. Anda bisa mengirimkannya lewat email atau hardcopy ke partner yang akan Anda ajak untuk kerjasama. Kalau Anda bisa bertemu dan menjelaskannya secara langsung, akan lebih baik karena Anda bisa langsung berdiskusi dengan partner Anda. Dengan demikian, partner Anda juga akan merasa lebih dihormati dan kerjasama pun bisa menjadi lebih jelas ke depannya.
Barusan kita sudah membahas panjang lebar tentang cara menawarkan kerjasama exposure ini yang dirasa kurang tepat. Setelah cara ‘menawarkan’, masih ada cara ‘bekerja’ setelahnya yang menjadi perhatian khusus bagi saya. Katakanlah team Awkarin ini telah berhasil memikat pemilik bar untuk bekerjasama barter dengan mereka. Lalu cara bekerja mereka setelahnya bagaimana? Apakah mereka benar-benar mempromosikan bar Hatchi di instastory mereka? Atau para selebgram ini hanya sekedar hura-hura saja, tapi tidak ada caption yang jelas atau bahkan menge-tag Hatchi dalam instastory mereka?
Setelah kasus EO dan perseteruan Awkarin dengan pemilik bar ini viral, ada satu lagi kasus dari @musimceri, seorang MUA yang menceritakan pengalamannya bekerja dengan team Awkarin yang ramai di twitter. @musimceri merasa kecewa dengan salah satu talent dari Awkarin, yang menurutnya bekerja secara tidak profesional. @musimceri dari pihak MUA dibiarkan menunggu lama tanpa kejelasan oleh talent Awkarin, hingga kemudian dibatalkan dengan alasan sudah menemukan MUA yang lain. Padahal @musimceri sudah berkorban waktu, tenaga, dan uang untuk datang ke lokasi yang dijanjikan.
Ada dua hal yang saya soroti di sini. Pertama dari sisi talent Awkarin, ada masalah attitude yang amat sangat serius yang ditunjukkan oleh si talent. Sungguh tidak profesional membiarkan orang menunggu dan membatalkan secara tiba-tiba, apalagi pihak yang diajak kerjasama sudah datang ke tempat yang disepakati. Kedua, dari sisi si MUA. Pengalaman yang tidak mengenakkan itu pasti tidak akan terjadi apabila ada hitam di atas putih.
Dari cerita yang dibagikan oleh @musimceri, terlihat kalau koordinasi hanya dilakukan via whatsapp dan tidak ada perjanjian tertulis yang mengatur kerjasama. Seharusnya setelah penawaran diterima dan kedua pihak setuju untuk bekerjasama, ada surat kontrak atau MoU (Memorandum of Understanding) yang memuat poin-poin kesepakatan antara kedua belah pihak. Jadi apabila salah satu pihak ada yang tidak memenuhi kesepakatan, pihak lain bisa melakukan tindakan seperti meminta ganti rugi atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Sayangnya karena tidak ada perjanjian tertulis, @musimceri pun tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika talent dari team Awkarin tidak memenuhi kesepakatan mereka.
Poin yang ingin saya garisbawahi di sini, cara bekerja ini juga menjadi hal yang penting karena merupakan tolak ukur kepuasan dari pihak yang diajak bekerjasama. Apabila kinerja dari team Awkarin ini terus-terusan dirasa tidak memuaskan, tidak heran jika orang-orang ini mulai kecewa dan enggan untuk bekerjasama kembali. Belum lagi potensi kalau pihak-pihak yang dikecewakan ini nantinya dapat dengan mudah membagikan pengalaman mereka di media sosial, sehingga menjadi konsumsi bagi khalayak luas.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mendiskresditkan team Awkarin. Team Awkarin hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak kerjasama menggunakan ‘exposure’ di luar sana, yang menuai perhatian bagi masyarakat kita. Saya rasa sekali lagi kita perlu menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan sistem kerjasama ini. Hanya saja, cara menggunakannya lah yang harus kita perbaiki. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang nantinya mungkin akan bersentuhan dengan kerjasama semacam ini, dan semoga kita selalu menjadi manusia yang mau terus belajar untuk memperbaiki diri. Selamat malam.
Penulis:
Adhimurti Citra Amalia
Sumber:
Twitter @_geraldgerald_
Twitter @musimceri
Instagra, @amrazing
Comentários