HUKUM PARETO, APA ITU? (WAJIB BACA BUAT KAMU YANG INGIN JADI PEBISNIS HANDAL)
- adhimurtic
- Jan 15, 2020
- 5 min read

Pernahkan Anda mendengar tentang hukum Pareto?
Saya sendiri pertama kali mendengar tentang hukum Pareto dari atasan saya ketika masih bekerja sebagai team marketing di sebuah perusahaan. Tetapi saya tidak pernah menyangka jika kata itu akan terus terngiang-ngiang di benak saya dan masih relevan sampai sekarang.
Atasan saya bilang bahwa hukum Pareto berarti mengambil target pelanggan yang terbesar dari bisnis kami. Kemudian fokus me-maintain good relationship dengan mereka, sehingga mereka akan terus melakukan repeat order kepada produk yang kami tawarkan.
Oke, kalau hukum Pareto membuat kita fokus kepada para pelanggan terbesar kita, lalu bagaimana dengan para pelanggan lainnya? Apakah mereka tidak diperhatikan? Tentu saja pelanggan lain masih tetap diperhatikan dan dilayani dengan baik, tapi tidak menjadi fokus utama sasaran kita.
Pendapat atasan saya ini diperkuat dengan tayangan youtube yang tidak sengaja saya lihat beberapa hari yang lalu, yang dibuat oleh seorang dosen dari UGM bernama Dr. Rangga Almahendra S.T., M.M yang mengatakan bahwa hukum Pareto adalah 80% akibat yang disebabkan oleh 20% penyebab.
Ketika saya mengeceknya di internet, senada dengan Dr. Rangga dikutip dari Wikipedia, hukum Pareto atau The Pareto Principle berarti 80% akibat disebabkan oleh 20% penyebab. Hukum ini berasal dari pengamatan ekonom Italia yaitu Vilfredo Pareto, di mana 80% pendapatan Italia ternyata dimiliki oleh 20% dari jumlah populasi yang ada di sana.
Secara teoritis, mungkin terdengar membingungkan. Namun Dr. Rangga memberikan contoh yang mudah dimengerti dengan menganalogikan hukum Pareto dengan kecelakaan yang sering kita temui di jalanan. Menurut Dr. Rangga, polisi tidak perlu berpatroli dengan berkeliling di banyak tempat karena mayoritas kecelakaan pasti terjadi di tempat yang itu-itu saja.
Kalau dipikir-pikir, ini masuk akal. Kecelakaan mungkin terjadi di tikungan yang berbahaya, jalanan yang rusak meski sudah berkali-kali diperbaiki, atau di lampu merah yang seringkali dilanggar oleh para pengguna jalan.
Sedangkan apabila hukum Pareto diterapkan dalam bisnis, percaya tidak percaya, profit terbesar kita pasti didapatkan dari pelanggan yang itu-itu saja. Atau sederhananya, hukum Pareto berarti 80% profit bisnis didapatkan dari 20% pelanggan terbesar kita. Apakah benar seperti itu?
Saya ingin berbagi pengalaman yang pernah saya alami sendiri di perusahaan tempat saya bekerja dulu. Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dalam bisnis yang sama, kami telah memiliki cukup banyak pelanggan, sebut saja pelanggan golongan A, B, C, D, dan E. Dari sekian banyak pelanggan ini, setelah dievaluasi ternyata penyumbang terbesar dari profit bisnis kami berasal dari golongan pelanggan A. Bukan golongan pelanggan B, bukan C, bukan juga D atau E.
Kalau dihitung-hitung, profit yang didapatkan dari pelanggan A sangat mungkin untuk mencapai 80%. Padahal, jumlah golongan pelanggan A tidaklah banyak, mungkin ya hanya mencapai 20% saja. Bagaimana bisa 20% pelanggan A ini menghasilkan 80% profit yang sangat besar bagi bisnis kami? Hal ini disebabkan pelanggan golongan A ini ternyata memang memiliki dana yang cukup besar, mereka juga memiliki kebutuhan untuk membeli produk kami, sehingga mereka pun terus melakukan repeat order.
Sebagai team marketing, kami menyadari hal ini sehingga wajar jika fokus utama kami ditujukan untuk melayani golongan pelanggan A yang menjadi pelanggan terbesar kami. Apalagi order terus berdatangan bahkan sampai overload saking banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun, ternyata manajemen kurang begitu puas dengan kinerja seperti ini karena melihat pelanggan yang kami tangani hanya itu-itu saja.
Manajemen kemudian menginginkan kami untuk memperluas pangsa pasar dan mencari pelanggan-pelanggan baru lagi. Tahun berikutnya, pola kerja kami pun berubah. Kami tidak lagi fokus pada pelanggan lama yang telah memiliki hubungan baik dengan kami, namun fokus mencari calon pelanggan baru yang sebelumnya tidak pernah membeli produk kami.
Kami tidak lagi menghubungi client A, B, C, dan E. Tapi kami malah mulai dari nol lagi mendekati client X, Y, Z, atau bahkan client-client baru yang sama sekali tidak mengenal bisnis kami. Tentu saja kinerja kami menjadi lebih berat. Saya sendiri mengalami dari 50 client baru yang saya prospek, hanya 10 client yang mau ditemui dan hanya 3 client yang akhirnya closing itu pun dengan nominal yang tidak begitu besar. Hal ini terbilang wajar, karena mereka tidak pernah membeli produk kami sebelumnya sehingga mereka ingin trial atau mencoba terlebih dulu.
Di sisi lain, saya merasa bahwa kinerja seperti ini sangat tidak efisien. Apabila sebelumnya saya bisa meng-handle 1 pelanggan lama dengan nominal 100 juta, untuk 3 pelanggan baru ini masing-masing hanya 3-5 juta sehingga kalau ditotal profitnya hanya 10-15 juta saja. Nominal yang didapatkan lebih kecil, tapi kinerja lebih berat dan waktu yang dihabiskan juga lebih lama. Kalau saja saya bisa kembali pada pelanggan-pelanggan lama saya, mungkin profit yang saya dapatkan bisa lebih berlipat-lipat dan tidak usah buang-buang waktu seperti ini.
Meskipun demikian, saya tidak menyesalinya karena kalau tidak mencoba saya tidak akan pernah tahu. Ternyata, hukum Pareto yang selama disebut-sebut oleh atasan saya itu benar dan saya juga telah membuktikannya sendiri.
Saya yakin pengalaman saya ini mungkin hanya satu apabila dibandingkan dengan pengalaman yang dialami oleh bisnis lainnya. Contoh misalnya bisnis kopi. Kita pasti tahu apakah pelanggan kopi kita mayoritas berasal dari pekerja atau mahasiswa yang hobi nongkrong, atau mungkin saja abang-abang ojol (ojek online) yang sekadar datang, pesan, lalu pergi. Kita juga tahu produk apa yang paling banyak dibeli oleh pelanggan kita. Mungkin cuma kopi gula aren saja atau kopi hitam saja. Atau mungkin bisnis baju. Kita bisa mengenali pelanggan terbesar kita apakah berasal dari sosialita, ibu-ibu, atau anak muda. Kemudian produk yang paling laris misalnya apakah itu blouse, sweater, kemeja, atau t-shirt.
Kalau kita hitung-hitung, mungkin saja hukum Pareto di mana 80% profit berasal dari 20% pelanggan itu juga berlaku bagi bisnis kita. Mengapa bisa demikian? Lakukan riset dan temukan sendiri jawaban dari pertanyaan Anda tersebut. Mungkin jawaban yang Anda temukan bisa sama bisa juga berbeda dengan kasus saya.
Sangat disayangkan apabila kita mengabaikan pelanggan terbesar yang sangat potensial ini hanya untuk memenuhi ambisi memperluas pangsa pasar, tanpa adanya riset atau perencanaan yang matang terlebih dahulu.
Misalnya kita sebagai pengusaha garmen yang tadinya fokus kepada pelanggan wanita, kemudian memproduksi lebih banyak produk untuk pria, padahal ya ternyata tidak laku juga. Diferensiasi produk memang diperlukan. Tapi daripada diberlakukan untuk pelanggan baru yang belum benar-benar teruji, kenapa tidak diperbanyak untuk pelanggan wanita saja yang sebelumnya telah menjadi pelanggan terbesar kita. Dengan begitu peluang untuk bertambahnya profit pun bisa semakin lebih besar.
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan kalau hukum Pareto itu nyata. Jadi buat Anda yang sudah memiliki bisnis atau sedang merintis bisnis baru, saran dari saya adalah tidak usah serakah mencaplok semua target segmentasi yang ada. Fokus saja kepada 20% pelanggan setia yang notabene sebetulnya merupakan 80% penyumbang terbesar dari profit bisnis Anda, niscaya rejeki akan mengalir dengan sendirinya melebihi apa yang telah Anda ekspektasikan.
Boleh saja jika Anda ingin memperluas pangsa pasar Anda, tapi lakukan setelah melalui tahapan riset atau perencanaan yang benar-benar matang, dan tidak mengabaikan pelanggan terbesar Anda.
Demikian sekilas dari saya tentang hukum Pareto dan semoga bermanfaat. Tetap semangat, kerja keras, jangan lupa berdoa dan tetap rendah hati untuk terus belajar. Good luck! :)
Penulis:
Adhimurti Citra Amalia
Sumber:
Hallooo de
Apa kabarnya
Kk minta nomernya dong
Wa ke kk ya 082244440211